Elang-ular Bido, Si Titipan Tuhan
oleh: Nurrohman Eko Purnomo
Siang itu begitu cerah dengan angin yang cukup kencang. Gesekan dedaunan dari pohon-pohon besar hutan tropis pegunungan semakin menenggelamkan suara kicauan burung yang sedari tadi terdengar samar-samar di bukit yang berada pada ketinggian 1500 m ini. Begitulah suasana di bawah puncak Bukit Plawangan Taman Nasional Gunung Merapi waktu itu.
Ketika terpaan angin semakin kencang menghajar rimbunnya tajuk pohon, tiba-tiba terdengar suara nyaring dan melengking yang membuat rasa penasaran untuk mencari wujudnya. "Kiu-liu", berulang-ulang terdengar semakin keras. Mencari dimana sumber suara tersebut namun tidak juga menemukan karena rapatnya tajuk pohon diatas kami. “Puncak wes sak plintengan engkas, ayo ndang munggah nonton si Elang lagi soaring.”, begitu saya mengajak Arel dan Eky untuk mempercepat langkah kaki.
Tibalah kami di puncak Bukit Plawangan di lereng selatan Gunung Merapi. Suara yang sebelumnya kami cari terdengar semakin menjauh dari tempat kami berada. “Tidak masalah, kalo cinta pasti datang lagi.” Pikirku.
Hijaunya tajuk hutan kaliurang sangat jelas terlihat dari atas ini. Puncak Bukit Turgo disebelah barat terlihat sepantaran dengan kami berpijak. Selalu ada bonus cuci mata dan refresh pikiran yang penat bila kita sedang pengamatan burung. Menikmati indah karya Sang Maha Kuasa, mengucap syukur atas karunia-Nya yang diberikan semoga selalu menjadi hal wajib bagi kita semua.
…..
Kami memasang telinga, dan terdengarlah suara khas nyaring nan melengking yang sedari tadi kami cari. "Kiu-liuu……..", berulang-ulang terdengar semakin mendekat ke tempat kami. Dengan sigap kami bertiga mengambil senjata masing-masing (binokuler dan kamera). Dan……benar saja, seekor Elang berwarna abu-abu kecoklatan terbang sepantaran dengan kami berdiri. Yang terlihat waktu itu adalah bagian sayap atasnya. Ternyata Arel teman saya bukan melihat yang saya lihat waktu itu, dia melihat individu lain yang terbang diatas kami berada. Kali ini terlihat dengan jelas sayapnya membulat dengan garis putih khas di bagian bawah sayapnya. Mereka bersuara bersautan memanggil satu sama lain, sungguh romantis pasangan burung pemangsa ini.
Elang-ular bido dengan nama ilmiah Spilornis cheela atau nama inggris Crested serpent-eagle memiliki kebiasaan terbang soaring layaknya elang lain untuk mencari mangsa. Ciri morfologi elang ini yaitu pada wajahnya terdapat kulit kuning tanpa bulu yang seperti topeng. Mackinnon dkk menuliskan, pada waktu terbang terlihat garis putih lebar pada ekor dan garis putih pada pinggir belakang sayap. Remaja: mirip dewasa, tetapi lebih coklat dan lebih banyak warna putih pada bulu. Iris kuning, paruh coklat-abu-abu, kaki kuning. Raptor yang tidak selalu memangsa ular ini merupakan jenis elang yang paling umum di daerah berhutan sampai pada ketinggian 1.900 m tulis Mackinnon dkk.
Pasangan elang ini terbang melingkar berkali-kali diatas kami, kira-kira 20 meter diatas kepala kami. Sungguh suguhan yang tidak selalu kami dapatkan ketika setiap kali pengamatan. Beberapa frame berhasil didapat walaupun banyak yang kurang jelas karena grogi (bilang aja newbie) :D
Jujur, dari awal pertama kali melihat elang ini ketika pertama kali saya pengamatan burung, saya langsung cinta dengan si topeng kuning ini. Alasannya sederhana, karena keren. Elang ini tangguh karena tingkat adaptasi cukup kuat di berbagai tipe hutan, jika dibanding dengan rekan se-family Accipitridae penetap di Merapi yaitu Elang jawa/Javan hawk eagle (Nisaetus bartelsi) dan Elang hitam/ black eagle (Ictinaetus malayensis) yang sebarannya terbatas di hutan Merapi saja.
Meskipun jenis ini masih cukup banyak, namun kita tetap kawatir akan kelestarian hidupnya karena perburuan liar untuk diperdagangkan. Pada tahun yang sudah serba gempar-gemparnya digalakkan konservasi ini masih saja dijumpai perdagangan satwa liar yang dilindungi pemerintah melalui undang-undang. Pemerintah memang melindungi semua jenis burung elang melalui undang-undang. Balai terkait dengan polisi kehutanannya sudah berusaha untuk melindungi semua satwa di dalam kawasannya. Kita sebagai masyarakat umum sudah selayaknya ikut menjaga kelestariannya dengan cara tidak memburunya apalagi merusak habitatnya yang kini semakin tersingkir oleh pembangunan kebutuhan manusia. Tuhan telah menciptakannya untuk dijaga manusia. Manusia adalah khalifah di bumi. Biarlah hutan sebagai sangkar aslinya. Biarlah mereka terbang tinggi bebas mewarnai angkasa. Menebarkan pesan cinta alam kepada seluruh makhluk bumi. Menghiasi langit Jogja, Indonesia.
Salam lestari, salam konservasi.
Kepedulian di hari ini, kelestarian di masa depan.
Tidak ada komentar