Saya Punya Cerita: Dieng!
(R. Arif Alfauzi)
Mungkin ada yang pernah mendengar seseorang memukul seng/blek/tong dengan keras, maka akan terdengar bunyi "dieng...!!!". Tapi ini bukan cerita tentang itu, ini adalah cerita tentang Dieng sebuah dataran tinggi di Jawa Tengah.
Disini terdapat sebuah telaga yang dinamai Telaga Warna. Telaga ini menjadi saksi bisu betapa 'riwug-riwug'nya hutan Jawa jaman dahulu yang sekarang sudah 'gundul plinthis'. Alhamdulillah, saya diberi kesempatan mengunjungi tempat tersebut bersama Panji, Andi, Mas Abhe, dan Harry.
Sebelum mengunjungi Telaga Warna kami (saya, Harry dan Mas Abhe) mengunjungi kantor Kecamatan Batur. Kami bertemu dengan Pak Camat dan Beliau banyak bercerita tentang Dieng di masa lampau. Pak Camat bercerita di wilayah ini bahwa dahulu masih lebat akan pohon-pohon hutan (tumbuhan tahun/tumbuhan keras). Sekitar1950an hutan mulai dihabisi sedikit demi sedikit untuk ditanami tumbuhan tembakau (Tobacco). Waktu itu tumbuhan tersebut menjadi primadona tersendiri di wilayah tersebut. Seiring berjalannya waktu, tidak ada harga suatu benda yang se-setabil emas, yap... harga komoditas Tobacco mulai mengalami gejolak fluktuasi sekitar tahun 1975 hingga 1979, dan itu merugikan petani.
Pada kurung waktu tersebut ada beberapa petani yang mencoba menanam KENTANG (entah mengapa kalau mendengar kata-kata "KENTANG" saya ingin tertawa...haha) di wilayah tersebut, dan well ternyata berhasil. Kentang mereka bawa dari daerah Lembang, Jawa Barat. Kita ketahui bahwa petani tradisional di sini (bahkan mungkin di Indonesia) sifatnya 'paternalistik' , mencontoh sesuatu yang sudah dilihat dan ada hasilnya. Banyak yang ingin menanami kentang hingga akhirnya bukit-bukit banyak yang menjadi "gundul plintis" menyisakan sedikit 'tumbuhan-tumbuhan keras'. Setelah dengar cerita yang sangat menarik dari Pak Camat, aku, Harry dan Mas Abhe pulang ke homestay sebentar menghampiri Panji dan Andi untuk makan siang dan menuju telaga warna.
Sesampainya di Telaga warna kami masuk dengan membayar tiket 0.32 poundsterling (dengar kurs Rp 19.000/pound) per orang, alias 6.000 rupiah... haha. Pada awalnya Harry (turis asing) dikenakan biaya Rp 100.000 tapi karena dia mampu mayakinkan penjaga loket bahwa dia mahasiswa, maka cukup Rp 6000 saja. (Lumayan, bisa hemat Rp 94.000 bisa untuk beli lotek banyak sekali). Selain itu kami juga mendapat bonus bisa mendengarkan desiran (gemuruh) gas panas bumi yang dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, suaranya lebih mirip suara jet yang melintas namun bedanya bunyi ini terus menerus. Karena saya di sini tidak sedang praktikum fisika, jadi bunyi keras dari gas tadi saya tidak tahu berapa desibel untuk intensitas suaranya. (Sungguh nikmat yang besar bagi negara ini mempunyai sumber energi (panas bumi) yang negara lain jarang/tak mempunyainya).
Lalu setelah melewati pintu retribusi yang kebanyakan wisatawan mungkin tidak menyukainya, maka telah sampailah kita pada saat yang berbahagia yaitu pengamatan...! hehey.
Pengamatan berjalan beriringan kecuali saya. Saya lebih milih pengamatan sendiri. Panji cs melalui jalan wisatawan sedangkan saya melalui jalan setapak yang lebih dekat dengan tepian Telaga. Kami berpisah hanya untuk beberapa meter saja namun juga lumayan jaraknya. Burung pertama yang saya lihat adalah Trinil pantai yang terbang melewati Telaga dan hinggap di dataran kecil di tepi waduk... Dan di satu momen.... Yap... Saya melihat Kareo padi (immature)... Ditengah perjalanan dalam rangka mengikuti Kareo padi, saya melihat sesosok burung pantai di seberang telaga (tapi tidak yakin apakah itu Trinil pantai atau bukan). Cukup lama mengikuti Kareo padi, hingga akhirnya terdengar suara burung aneh dan terus coba saya ikuti...
Setelah mengikuti agak lama akhirnya burung itu banyak beraktifitas di lokasi tertentu. Hingga akhirnya di lokasi itu pun dari balik bongkahan kayu teramati 4 orang mirip Genk lokal juga sedang mengamati burung tersebut. 4 orang tadi ternyata Panji cs...Haha.
Dan burung tadi menurut Panji adalah Sikatan bubik (sayang sekali saya tidak melihatnya karena gerakan yang gesit dan dari sudut yang rimbun). Bukan cuma itu, ternyata Panji cs melihat Sikatan mugimaki. Itu pasti menyenangkan. Lagi-lagi saya tidak melihatnya. No problem.
Akhirnya kami ingin pulang, dan ketika perjalanan pulang kami melihat Kicuit hutan dari jarak yang teramat dekat mungkin sekitaran 5 meteran. Burung Kicuit hutan asik melakukan gerakan-gerakan aneh tak tak bisa kami pahami. Yap pada akhirnya kata orang pepatah kuno mengatakan "ada pertemuan maka akan ada perpisahan" (saya tidak tahu apakah kata-kata itu benar-benar pepatah kuno) burung Kicuit hutan perlahan pergi meninggalkan kami. (Mohon para pembaca jangan membayangkan kami ber-lima sambil berkaca-kaca secara serempak mengucapakan "selamat jalan Burung Kicuit hutan, sampai bertemu lagi", karena itu terlalu dramatis untuk membumbui momen indah tadi). Momen indah hanya perlu disyukuri saja...
Perjalanan pulang kami melalui jalan semula dan ternyata sesosok burung pantai yang berada di seberang masih terlihat, setelah diskusi dengan Panji kami sepakat itu Trinil pantai.
Perjalanan kami lanjutkan hingga akhirnya kami berada di pintu retribusi, tapi kami sedikit berjalan terus di tepian telaga dan Panji lagi-lagi menemukan burung, dan bagi saya ini istimewa yaitu Itik gunung. Yeah Alhamdulillah ini pertama saya melihatnya... Itik gunung hanya terlihat sendiri menikmati perairan Telaga warna. Sungguh merdeka.
(Perjalanan sehabis nemu Itik gunung menuju home stay tidak saya ceritakan karena terlalu panjang... Dan anggap saja hal tersebut adalah dirahasiakan penulis...hehe)
Singkat cerita kami sudah di kamar homestay untuk tidur...
-Dieng, 19 Maret 2018-
Tidak ada komentar